top of page
  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram

All The Bright Places: Kenangan tentang Tempat dan Optimisme Hidup

  • dedaibrahim
  • Aug 31, 2021
  • 4 min read

Kesederhanaan terkadang menjadi kunci dalam menarik perhatian pemirsa film drama. Tidak harus beralur rumit atau ber-ending yang menyenangkan atau konflik yang tajam. Cukup kehangatan ditawarkan, meskipun kisah dalam film itu menampilkan tragedi.




Saya selalu memiliki memori yang baik dan menghangatkan jika saya mengingat film What’s Eating Gilbert Grape? (1993). Film yang dibintangi oleh Jhonny Depp dan Leonardo DiCaprio itu memiliki kisah sederhana dengan permasalahan hidup orang yang tinggal di kota kecil bernama Endora, Iowa, di pedalaman Amerika. Tetapi, kesederhanaan itu kekuatannya. Lagipula, kemewahan yang bagaimana yang dapat ditawarkan film semacam What’s Eating yang bersetting di kota semacam itu?


Meskipun begitu, What’s Eating menawarkan tragedi. Puncak kisah dalam film itu keluarga Grape harus mengkremasi ibu mereka yang badannya super besar di dalam rumah mereka.

Tidakkah itu tragis?


Kesederhanaan sejenis juga dimiliki oleh All The Bright Places (2020). Film ini adalah film drama remaja. Kerap, film seperti ini memuat pesta-pesta remaja yang liar. Meski itu ada, film ini tidak berfokus pada kegembiraan seperti itu.


Tetapi, ada kegembiraan lain yang ditawarkan: kisah cinta dua remaja. Pertemuan awal pasangan tersebut tergolong ganjil: di suatu jembatan dimana si perempuan, Violet Markey (Elle Fanning), sedang berdiri di atas langkan jembatan. Ia sedang mempertimbangkan apa yang kehidupan bisa tawarkan ketimbang kematian yang ia akan ambil.


Finch (Justice Smith), si lelaki, yang sedang lari pagi, melihat Violet, berdiri di atas langkan jembatan. Finch mengenalnya sebagai teman satu sekolah—bahkan, satu kelas. Finch berusaha membujuknya untuk membatalkan apa yang Violet ingin lakukan. Singkatnya, Finch berhasil mengajak Violet untuk turun dari langkan tersebut.


Finch dan Violet menjadi dekat—meski Violet awalnya enggan dan Finch sedikit memaksa—dan menjadi teman satu kelompok untuk tugas kelas. Mereka bersahabat dan jatuh cinta.


Dalam kedekatan itu, Violet mengungkapkan pengalaman traumatisnya: ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan saudara perempuannya, Eleanor, meninggal. Kemudian, Finch mengajak ke tempat-tempat yang, menurut Finch, dapat menawarkan Violet optimisme dalam menjalani kehidupan.


Hingga di titik ini, kita memperoleh kesan bahwa Violet adalah perempuan yang labil karena pengalaman traumatisnya, dan Finch adalah pahlawan karena telah menyelamatkan Violet. Tetapi, setelah menjadi sepasang kekasih, Violet mulai merasakan keganjilan dalam diri Finch.


Finch terkadang menghilang. Puncaknya adalah saat Finch dengan ganas memukul mantan kekasih Violet, Roamer (Felix Mallard). Dalam perkelahian tersebut Finch secara tidak sengaja memukul sahabatnya sendiri, yang hendak meleraikan perkelahian.


Ada apa dengan Finch?





All The Bright Places (2020) adalah film yang berdasarkan pada novel karangan Jenniver Niven. Film ini menawarkan kisah tentang dua remaja, Violet dan Finch, yang memiliki masa lalu yang traumatis. Cinta mereka dapat membuat Violet melampaui traumanya, sementara Finch tetap bergulat dengan luka masa lalu.


Luka yang dialami Finch tertanam lama semenjak ia masih kanak-kanak. Finch adalah korban dari kekerasan domestik yang dilakukan oleh ayahnya. Finch bisa begitu menyenangkan di satu waktu, tetapi di saat lain, ia begitu moody, depresi, dan menarik diri dari teman-temannya. Seperti ada “dua Finch” dalam diri Finch.


Saat diri Finch yang moody muncul, Finch pergi ke tempat-tempat tertentu yang bisa menenangkan dirinya. Tempat-tempat tersebut itu adalah tempat yang sama yang ditunjukkan oleh Finch kepada Violet.


Brett Haley, sang sutradara, seperti ingin mengatakan, cinta tidak selalu indah. Cinta tidak selalu memberikan solusi dan mendamaikan masa lalu. Terkadang, ia juga tidak menyembuhkan luka seseorang.


Bisa jadi, cinta memang tidak memadai—dan itu bukan berarti Finch tidak memiliki cinta yang cukup untuk Violet—untuk menyembuhkan jiwa orang yang terluka terlalu lama. Optimisme adalah pil pahit;ia mungkin menawarkan pelbagai kemungkinan untuk ditempuh, tetapi tanpa kepastian akan diri yang lebih baik dan bahagia tanpa masa lalu yang mencekam.


Cinta yang tidak menyembuhkan luka seseorang adalah tragedi sesungguhnya.


Menariknya, tragedi tersebut divisualisasikan oleh Haley dengan citra dan representasi yang sederhana, seperti Violet yang tengah berteriak memanggil nama Finch di tepi danau yang tenang dan sepi, tetapi dalam dan luas. Atau kenangan tragis namun manis tentang Finch ditampilkan melalui adegan Violet membacakan tugas sekolahnya di depan kelas.


Sayangnya, trauma Finch kurang digarap dengan mendalam; Finch kurang diberi tempat oleh Haley ketimbang eksplorasi trauma Violet. Seseorang yang menonton film ini dapat paham mengapa Violet bisa mengalami trauma psikologis serta mengetahui mengapa Violet bisa melampaui traumanya.


Tidak begitu dengan Finch. Diri Finch yang traumatis memang diberi tempat oleh Haley. Misalnya, kesan, catatan dan ingatan Finch tercatat dalam post-it yang tertempel di dinding kamar Finch yang miring menonjol keluar. Bagaimana kepingan post-it yang banyak itu tersebut tersusun dengan rapi dan teratur—diterangi oleh sinar lampu baca yang temaram—adalah representasi benak Finch yang rumit sekaligus kontradiktif dan agak menakutkan. Sayangnya, itu berupa kepingan indikasi belaka.


Finch memang mengalami kekerasan domestik, tetapi film ini tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa Finch bisa memiliki dua kepribadian yang berbeda. Apalagi jika kita membandingkan Finch dengan kakaknya, Kate (Alexandra Shipp) yang secara dewasa mampu menangani beban masa lalu.


Pada akhirnya, tempat-tempat yang dikunjungi oleh Violet dan Finch menawarkan Violet kenangan tentang Finch dan optimisme hidupnya. Pada saat bersamaan, tempat-tempat tersebut juga representasi kegagalan Finch melampaui trauma masa lalu.[]


All The Bright Places (2020)

Sutradara: Brett Haley / Produser: Paula Mazur, Mitchell Kaplan, Elle Fanning, Brittany Kahan-Ward, Doug Mankoff, Andrew Spaulding / Skenario: Jennifer Niven, Liz Hannah / Pemeran: Elle Fanning, Justice Smith, Alexandra Shipp / Durasi: 108 menit.


Sumber gambar: wikipedia.org


 
 
 

Opmerkingen


About Me

Deda Ibrahim.jpeg

Saya Deda Ibrahim dan situs ini adalah ruang opini tentang film, ulas film, dan esai-esai tentang film. 

Film adalah teks terbuka terhadap pelbagai pemahaman dan tafsir. Untuk itu, situs ini ada.

Posts Archive

Tags

HAVE I MISSED ANYTHING GOOD LATELY?
LET ME KNOW

Thanks for submitting!

© 2023 by On My Screen. Proudly created with Wix.com

bottom of page