top of page
  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram

Lord Didi yang Metafisik dalam Sobat Ambyar

  • dedaibrahim
  • Aug 29, 2021
  • 5 min read

Ketika saya tahu ada film yang berjudul “Sobat Ambyar”, saya berpikir film tersebut semacam film dokumenter musik tentang Didi Kempot. Setelah beberapa menit film tersebut saya saksikan, saya sadar saya telah berprasangka dan melupakan fakta bahwa begitu minimnya jumlah film dokumentasi musik di Indonesia. Dengan kata lain, Sobat Ambyar mustahil mengambil format tersebut.


Saya sesekali bertanya apakah mungkin film yang diasosiasikan dengan hiburan seperti musik dibuat serius dan diisi dengan narasi berupa analisis dan lainnya di Indonesia? Apakah pemirsa akan menerimanya? Ataukah produser mau mengambil resiko dengannya?


Sebenarnya, film dokumentasi musik bisa dibuat menarik. Kita bisa mengambil aspek-aspek tertentu untuk dielaborasi. Saya bisa mengambil contoh dari film dokumentasi tentang The Bee Gees yang berjudul The Bee Gees: How Can You Mend The Broken Heart (2020). Dalam pengisahannya, film tersebut kronologis; ia bertutur dari awal karir The Bee Gees di Australia hingga hari ini. Tetapi, film tersebut juga mengutarakan gerakan antidisko, yang tidak hanya mengasingkan The Bee Gees dari peta musik populer, tetapi juga diskriminasi terhadap musik hitam yang memiliki kedekatan dengan musik disko.





Contoh lain bisa dikemukakan adalah McCartney 3,2,1, yang baru tayang di kanal Hulu. Film ini tidak mengambil alur kronologi, seperti film tentang The Bee Gees di atas. McCartney 3,2,1 mengetengahkan diskusi mengenai proses pembuatan dan rekaman lagu dan album The Beatles dan Paul McCartney dari aspek teknis hingga liriknya serta kondisi lingkungan saat merekamnya, baik dalam situasi yang kondusif maupun sebaliknya.


Didi Kempot bukan tidak memiliki aspek-aspek yang bisa dielaborasi. Didi punya daya pikat—dan Sobat Ambyar menyentuhnya secara sporadis dan fragmentaris—bisa dijadikan titik elaborasi. Salah satunya adalah daya pikat apakah yang dimiliki lagu-lagu Didi sehingga ia begitu dicintai?


Tetapi, saya juga sadar mungkin ini dipengaruhi, sedikit atau banyak, oleh prasangka saya. Karenanya, mari kita bahas Sobyar Ambyar sebagaimana adanya.




Sobat Ambyar (2020) dibuka dengan konser Didi, yang dibanjiri penggemarnya. Mereka bernyanyi bersama dan tenggelam dalam lagu yang mereka nyanyikan. Satu dari mereka begitu menghayati; ia hanyut dan pingsan.


Ia dilarikan ke belakang panggung dan bertemu Didi, yang bagai seorang bijak, menanyakan bagaimana keadaannya. Sang pemuda yang pingsan kemudian bercerita dan alur film melompat ke belakang satu bulan sebelumnya.


Pemuda itu bernama Jatmiko (diperankan oleh Bhisma Mulia). Ia memiliki kedai kopi dan mempekerjakan sahabatnya, Kopet (Erick Estrada) dan terkadang dibantu oleh adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Dewi Fortuna sepertinya belum singgah ke kedai tersebut, yang nampak seperti berjualan mebel karena sepinya.


Suatu waktu seorang perempuan, yang awalnya enggan menyebutkan namanya, datang dan kemudian menjadi pelanggan kedai tersebut karena ia menikmati kopi yang resepnya hanya dimiliki oleh Jatmiko. Kedua orang tua Jatmiko yang telah tiada mewarisi resep tersebut kepada anak sulungnya. Hubungan berkembang; daya pikat Saras (Denira Wiraguna), perempuan yang awalnya menolak menyebutkan namanya itu, membuat Jatmiko jatuh hati dan menjadi kekasihnya.


Saras sendiri terdesak oleh penyelesaian skripsinya yang bertenggat waktu tiga minggu ke depan; kopi keluarga Jatmiko menjadi topik skripsinya. Setelah menyelesaikan sidang skripsinya, Saras pulang ke Yogyakarta. Saras berjanji ia akan kembali ke Solo untuk menemui Jatmiko saat ulang tahun Saras dua minggu kemudian.


Namun, dua minggu berlalu dan Saras tidak juga menginjakkan kaki di Solo. Jatmiko pun pergi ke Yogyakarta untuk mengetahui kabar dan memberinya hadiah ulang tahun. Di kota gudeg itu, Jatmiko menemukan fakta pahit: Saras memiliki kekasih lain.


Sobat Ambyar, disutradarai oleh Charles Gozali dan Bagus Bramanti, tidak menawarkan banyak hal, kecuali kisah patah hati dan upaya Jatmiko untuk menyembuhkan hatinya. Film sejenis ini biasanya menawarkan gambaran keberhasilan protagonis dalam menaklukkan kesulitan akibat cinta yang dikhianati.


Keberhasilan itu sepertinya tidak boleh hanya dalam persoalan cinta. Sukses harus utuh mencakupi hal lain: Jatmiko harus juga berhasil dalam usahanya. Jatmiko, yang sempat menutup kedai kopinya, memperoleh investasi dari Faris (Mo Sidik) untuk usaha kopi keluarganya.


Klise adalah kelemahan pertama film yang ditayangkan di kanal Netflix ini. Sobat Ambyar tidak menawarkan daya pikat tertentu, kecuali Didi Kempot. Skenario memiliki lubang-lubang yang mengganggu kisah yang ditawarkan sehingga kisah itu tidak meyakinkan. Fiksi memang bukan cerita berdasarkan pada kisah nyata, tetapi fiksi sepatutnya meyakinkan.


Kita bisa mengambil karakter Saras sebagai contoh. Sobat Ambyar menampilkan Saras sebagai perempuan yang menyepelekan hubungan asmara. Saras begitu mudah berganti lelaki. Jatmiko sendiri menjadi korbannya dua kali. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi sebab dari sifat Saras yang begitu menyepelekan lelaki?


Latar belakang patut diberikan. Seorang antagonis memiliki kecenderungan lebih besar untuk membangun stereotip tertentu. Mari kita anggap Saras sebagai perempuan yang terurbankan; ia tidak bisa berbicara dalam Bahasa Jawa, sementara karakter-karakter lain, seperti Kopet dan Jatmiko berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Menariknya Saras tinggal di Yogyakarta, yang seharusnya akrab dengan Bahasa Jawa.


Apakah Saras dimaksudkan sebagai karakter yang tercerabut dari akarnya ataukah ini sekadar ketidakmampuan Denira Wiraguna—lahir di Banten dan keturunan Pakistan dan Melayu—untuk berbicara dalam Bahasa jawa?


Jika yang pertama adalah isunya, maka Sobat Ambyar kurang berhati-hati dalam memotret Saras: perempuan, terurbankan, dan menyepelekan hubungan. Bukankah ini sebentuk stereotip perempuan urban?


Andai yang kedua adalah isunya, bukankah Saras sepatutnya diberikan kesempatan untuk mempelajari bahasa Jawa? Bukankah itu tuntutan perannya sebagai perempuan Jawa yang tinggal di Yogyakarta?

Inilah kelemahan lain dari Sobat Ambyar.


Di sisi lain, film ini menjadi menonjol dengan komunikasi antartokoh dengan bahasa Jawa. Komunikasi tersebut membangun keluwesan, misalnya dialog antara Kopet dan Jatmiko, di tengah kekakuan akting Denira yang sekali-kali muncul. Inilah kekuatan film ini.


Mengenai akting Denira, ada momen-momen tertentu yang mana saya harus bertanya kepada diri sendiri apakah ia harus melakukan apa yang ia lakukan di layar. Misalnya, adegan Denira mengambil kopi di konter sembari berbincang dengan Jatmiko. Bagaimana Denira berakting di adegan tersebut menunjukkan bahwa gelas tersebut adalah kosong; bukankah seharusnya ia meminimalisir gerakannya saat memegang gelas? Apalagi kopi tersebut adalah kopi panas. Mengapa Denira begitu bebas bergerak dengan gelas kopi yang panas dan terisi penuh?


Di luar dari kelemahan-kelemahan film ini, film ini sebenarnya ingin menunjukkan secara dramatis bagaimana pengaruh seorang Didi Kempot di mata pengagumnya. Lewat film ini, Didi dilukiskan sebagai seorang penyanyi yang karyanya mengekspresikan kepedihan cinta dan hidup. Ia memberi ruang bagi ekspresi penggemarnya, termasuk mencapai ekstase karena lagu-lagunya.


Didi bagai seorang baginda yang kharismanya menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami penggemarnya. Ia tak tersentuh. Panggungnya adalah singgasananya. Koor penggemarnya bagai pujian bagi sang baginda sekaligus pengobat rasa pedih yang dirasakan oleh mereka. Andai bersentuhan dengan Didi dan dapat memeluknya, maka itu adalah sentuhan dan pelukan yang dapat melepas gundah.


Didi bagai seorang lord—di film ini ia disebut Lord Didi. Ia tidak berada di dalam drama kehidupan penggemarnya. Ia berjarak dengan kehidupan sehari-hari. Alhasil, film ini menampilkan Didi yang metafisik.


Jika film merepresentasikan realita—seremeh apa pun representasi itu, maka Sobat Ambyar bisa disebut sebagai representasi realita bagaimana penggemarnya memandang Didi Kempot. Tetapi, andai kita ingin melihat sosok Didi yang lebih baik, tepat, dan utuh serta bagaimana pandangan penggemarnya memandang Lord Didi, maka satu film dokumenter musik tentang Didi Kempot memadai dan dibutuhkan untuk itu. Dan itu yang kita sejatinya butuhkan. Saya rasa dunia musik kita berhutang sebesar itu untuk melihat Didi Kempot dalam perspektif menyeluruh.[]

Sobat Ambyar (2021)

Sutradara: Charles Gozali dan Bagus Bramanti / Produser: Linda Gozali / Penulis skenario: Bagus Bramanti dan Gea Rexy / Pemeran: Bhisma Mulia, Denira Wiraguna, Sisca JKT48, Asri Welas, Erick Estrada, Mo Sidik, Didi Kempot / Penata musik: Nanin Wardhani/ Durasi: 101 menit.



sumber gambar dan film:

wikipedia dan YouTube

 
 
 

Comments


About Me

Deda Ibrahim.jpeg

Saya Deda Ibrahim dan situs ini adalah ruang opini tentang film, ulas film, dan esai-esai tentang film. 

Film adalah teks terbuka terhadap pelbagai pemahaman dan tafsir. Untuk itu, situs ini ada.

Posts Archive

Tags

HAVE I MISSED ANYTHING GOOD LATELY?
LET ME KNOW

Thanks for submitting!

© 2023 by On My Screen. Proudly created with Wix.com

bottom of page