Mondok: Pesan Ganjil tentang Sekolah Umum
- dedaibrahim
- Sep 11, 2021
- 3 min read
·Saat saya kecil, pondok pesantren diasosiasikan dengan tempat untuk anak-anak nakal. Jika saya nakal dan orangtua mengatakan,“Nanti dikirim ke pesantren”, itu artinya kenakalan saya sudah melewati batas kesabaran mereka.
Itu masa lalu. Saat ini, persepsi tersebut telah bergeser. Anak saya seorang santri, dan yang cukup bersikeras agar anak saya mondok adalah kedua orangtua saya. Tentu, anak saya bukan anak nakal. Lagipula, kakek dan nenek mana yang menganggap cucu kesayangannya nakal?

Berbeda dengan anak saya, Rayhan, karakter di film Mondok (ditayangkan Rabu, 21 Oktober 2030), dipesantrenkan karena ia dianggap anak nakal. Guru-gurunya kewalahan dengan kebandelannya dan sekolahnya—serta sekolah-sekolah lainnya juga—menolak Reyhan di sekolah mereka.
Pertanyaannya adalah mengapa persepsi masa lalu yang negatif tersebut dipertahankan dan diawetkan? Bukankah itu stereotip?
Pendidikan umum dan agama sama-sama memiliki anak-anak yang dianggap nakal dalam naungan sistem pendidikan mereka. Keduanya pernah gagal mendidik mereka. Sebaliknya, keduanya sama-sama berhasil mencetak orang-orang besar dan berprestasi.
Beralur linier dan formulaik, Mondok bukanlah film istimewa. Reyhan membuat gurunya kewalahan, pihak sekolah menyerah, sekolah lain menolak Reyhan, dan hanya pesantren menerima Reyhan sebagai santrinya. Di akhir film, pesantren berhasil mendidik Reyhan menjadi santri yang baik. Bukankah itu klise?
Lihat bagaimana kenakalan Reyhan ditampilkan oleh film ini. Untuk anak yang dikeluarkan dari sekolah, kenakalannya tampak tidak meyakinkan. Membuat dua sahabat berkelahi satu sama lain adalah buruk. Tapi, itu tidak membuat Reyhan anak paling nakal di sekolahnya. Atau melamun di kelas dalam mata pelajaran Sejarah dan menyebut nama Syahrani sebagai pahlawan favorit, tidak membuat Reyhan menjadi anak nakal. Paling jauh, Reyhan adalah badut di kelasnya.
Mungkin ini akibat dari durasi yang pendek (sekitar satu jam 16 menit) sehingga minim eksplorasi kenakalan Reyhan. Dus, naskah film yang lemah. Walhasil, inkonsistensi jadi mengemuka. Misal, Reyhan mempersyaratkan pesantren yang tidak alergi dengan belajar musik. Ganjilnya, Reyhan tidak sama sekali memegang satu alat musik apapun hingga film berakhir.
Wahyu H. Sudarmo, penulis skenario Mondok, mungkin menanggung beban moral yang ingin mewartakan pesantren sebagai tempat untuk memperbaiki akhlak. Sebagai film dinaungi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bisa jadi menitipkan pesan yang tidak ringan.
Permasalahannya adalah mengapa bukan Kementerian Agama yang menjadi penasihat dan pengarah program? Bukankah pesantren adalah bagian dan tanggung jawab dari kementerian ini? Bukankah ini seperti hendak mengatakan bahwa anak-anak yang dianggap nakal bukan tanggung jawab dari pendidikan umum, yang merupakan bagian dan tanggung jawab dari Kemendikbud? Tidaklah salah jika saya dan mungkin pemirsa berfikir bahwa pendidikan umum adalah pendidikan yang gagal karena tidak bisa mengubah siswa nakal menjadi siswa baik. Dus, pesantren adalah jawabannya.
Bukankah pendidikan umum dan agama adalah dua jalan berbeda yang sama-sama menuju kebaikan? Film yang menampilkan pendidikan umum yang mencerahkan begitu banyak. Film tersebut dapat dijadikan referensi positif tentang pendidikan umum. Sebut saja, Dead Poets Society (1989), Dangerous Minds (1995), Freedom Writers (2007), atau The Ron Clark Story (2006). Dalam batas tertentu, Laskar Pelangi (2008).
Sebagian darinya didasarkan pada dan diinspirasikan oleh kisah nyata. Film-film tersebut mampu memvisualisasikan kekuatan pendidikan umum dalam mengubah karakter anak didik serta karakter kuat pendidiknya—yang mana dua hal itu tidak tampak sama sekali dalam Mondok.
Karena itu, kekesalan ayah Reyhan (diperankan oleh Agus Kuncoro) kepada pihak sekolah mewakili apa yang saya khawatirkan tentang pesan di atas:“Sekolah macam apa ini sih, Pak? Masak, cuma berani mendidik anak-anak yang tidak bermasalah? Penakut!”
Adegan dengan line cerdas ini, menurut saya, adalah momen terbaik dalam film ini.[]
Ulas film ini adalah salah satu pemenang lomba ulas film Pusbangfilm Kemdikbud.
Berikut utasannya: http://ulasan.film.kemdikbud.go.id/mondok-pesan-ganjil-tentang-sekolah-umum/
Sumber gambar: “Mondok” dan Citra Pesantren Kuno | Dewipuspasari's Weblog
Comentarios